Wajar kalau hingga saat ini di awal kemunculannya dalam gelanggang politik nasional Jokowi pun sempat menjadi pengharapan kelompok sipil dan juga seluruh kalangan aktivis. Yuki Fukuoka dan Luky Djani pun sempat berargumen bahwa sesudah Orde Baru tumbang, kelompok masyarakat tercerai-berai tidak akan beraturan. Alahasil, untuk seluruh kalangan pemegang kekuasaan masih tidak dapat jauh-jauh dari sistem oligarki rezim terdahulu. Saat ini masa pemerintahan Jokowi pun ikut diperdebatkan karena membabat habis sistem demokrasi yang ada di Indonesia.
Bedanya, dengan kemunculan kelompok buruh serta untuk para aktivis, elite politik di era pasca-Orde Baru turut mempertimbangkan bagaimana untuk kepentingan seluruh masyarakat kelas menengah ke bawah. Mau bagaimanapun suara mereka pun nantinya akan diperlukan untuk memenangkan pemilu di Indonesia. Mereka juga berani untuk ikut serta dalam menyuarakan tuntutan yang jauh lebih banyak dibanding masa sebelumnya sehingga praktik klientelistik ala Orba menemukan sebuah tantangan yang cukup berat.
Para elite politik tidak lagi bisa untuk mengandalkan patronase demi memenangkan kontestasi pemilu. Mereka mulai mendukung tokoh yang punya narasi peduli pada seluruh rakyat miskin dan berani untuk ikut memaparkan bagaimana program-program populis. Tokoh semacam ini sudah cukup lazimnya karena muncul pada periode demokrasi sesudah tumbangnya otoritarianisme yang melanggengkan praktik klientelistik. Dimana hak rakyat untuk bisa bersuara ini pun nantinya akan lebih dominan ke pihak pemerintah iru sendiri.
Fukuoka dan Djani berpendapat, “pada saat melakukan mobilisasi klientelistik yang mana hal ini justru akan menjadi kurang efektif pada masa pemerintahan yang telah ada, bahkan untuk seluruh kalangan elite oligarki akan mulai selektif dalam merangkul populisme dalam usaha mempertahankan cengkeraman pada struktur kekuasaan di suatu negara.” menurutnya yang kami lansir dari Tirto.id.
Dalam hal ini, seorang yang memimpin pun menginginkan bahwasanya ada seorang pemimpin yang merakyat dan muncul dari luar tatanan Orde Baru menjadi sarana bagus untuk melakukan kooptasi. Jokowi pun dikenal bukan seorang politikus yang tumbuh pada masa Orde Baru. Dia putra seorang tukang kayu yang menanjak jadi seorang pengusaha lokal yang cukup sukses dan kemudian menjadi seorang pejabat publik. Dia pun hingga saat ini punya banyak inovasi dan menyelesaikan berbagai macam masalah yang terdapat di kotanya.
Reputasi pada masa pemerintahan Jokowi ini pun nantinya akan mengalahkan banyak elite politik yang telah berprinsip sebagai seorang yang melakukan tindak korupsi dan tidak peduli pada rakyat. Selanjutnya adalah pencetak sejarah di Indonesia. Jokowi pun kemudian didukung oleh Prabowo dari Partai Gerindra dan Megawati dari PDIP, sampai pada akhirnya partai PDIP sendiri dapat mengusungnya sebagai seorang presiden. PDIP, yang besar karena dianggap sebagai antitesis pada masa Orde Baru pada awal era Reformasi, sebenarnya adalah bagian dari oligarki yang ada pada saat ini.
Dukungan PDIP kepada Jokowi bukan karena kesadaran ideal bahwa mantan seorang Wali Kota Solo tersebut adalah salah seorang pemimpin yang terbaik untuk seluruh kalangan rakyat, akan tetapi sebab adanya lantaran Jokowi merupakan salah seorang pilihan yang terbaik untuk bisa menjadi pemenang. Bahkan hingga pada tahun 2009, Megawati selaku ketua Umum Partai PDIP ini pun masih menginginkan Prabowo untuk menjabat di pemerintahan.
Jalan cerita tersebut juga akan diartikan sebagai hal yang lebih dalam oleh Jeffrey A. Winters, Direktur Buffet Institute of Global Affairs, dalam riset yang saat ini berjudul “Oligarchy and Democracy in Indonesia” (2013). Menurut Winters, Jokowi merupakan seorang pemimpin yang menganut produk oligarki. “Kemenangan luar biasa populer Jokowi atas gubernur petahana terjadi karena adanya sebuah dukungan dari kalangan mahasiswa sampai pada hal asosiasi pada ibu rumah tangga yang hingga saat ini akan mendorongnya menuju kemenangan.
Akan tetapi, pada bagian penting kisah demokratis ini dimungkinkan oleh gerakan oligarki di mana kekuasaan kaum berduit menempatkan Jokowi di hadapan para pemilih. Walaupun hingga saat ini dia mendapat sebuah dukungan pada akar rumput, dia pun juga nantinya akan bertarung dalam ajang pemilihan gubernur bukan sebab adanya inisiatif maupun juga adanya gerakan politik pada akar rumput,” menurut Winters. Presiden Republik Indonesia Jokowi pun sampai sekarang ini telah berhasil menang karena partai politik dan kaum elite memutuskan untuk mengusungnya.
Oleh sebab itulah hingga dia menjadi presiden dua periode seperti sekarang ini, dia tidak dapat ikut serta dalam melawan kepentingan elite serta seluruh partai politik. Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah menyebut bahwasanya sistem pemerintahan secara oligarki seperti ini hanya menguntungkan kelompok lingkaran penguasa. Para regulator yang ada di sekitar kekuasaan merupakan salah seorang pelaku usaha yang, tentu saja, membuat peraturan hanya untuk menguntungkan kelompok elite nya, bukan dari masyarakat kecil dan menengah seperti yang selama ini Jokowi citrakan.
Jatam mencatat, baik orang yang sekarang ini sudah dekat dengan presiden Jokowi maupun pimpinan DPR, memiliki usaha yang berhubungan dengan tambang. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto terkait dengan PT Bara Hanyu Kapuas serta adanya PT Multi Harapan Utama. Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi yakni adalah Luhut Binsar Panjaitan terkait dengan PT Toba Sejahtra. Ketua DPR yakni adalah Puan Maharani memiliki suami yang aktif di dalam Odira Energy Karang Agung serta PT Rukun Raharja.