KPK akan terus mendalami bagaimana jumlah kerugian dari segi keuangan negara terkait bagaimana kasus suap bansos Covid-19 yang mana sudah menjerat Menteri Sosial, Juliari Peter Batubara, dan juga kawan-kawan mereka. “Kami lihat kan baru terkait suap sembakonya saja, ya kita lihat saja nantinya bagaimana rentetan proses pengadaan barang dan jasanya tersebut apakah ada unsur merugikan uang negara. Itu semua juga nantinya akan didalami,” menurut Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata, pada Gedung KPK, Jakarta, hari Senin (12/12/2020), seperti dilansir Tirto.id.
Lebih lanjut, ia pun juga sempat menyatakan bahwasanya dalam penyidikan ini nantinya akan melaporkan kepada pihak pimpinan KPK apabila memang terdapat sebuah unsur kerugian keuangan negara dari adanya kasus suap tersebut. “Informasi ini masih nantinya juga masih perlu untuk dikembangkan, nanti biasanya penyidik kalau dapat bukti cukup akan terus melakukan sebuah pemaparan terhadap pihak pimpinan. Contohnya, yakni adanya sebuah dugaan penggelembungan harga sampai nantinya akan menyebabkan kerugian yang besar untuk negara kemudian kami akan mengembangkan dari penyidik,” ujar dia yang kami lansir dari Tirto.id.
KPK sudah pasti akan menetapkan Juliari bersama empat orang lainnya sebagai tersangka dalam kasus bansos Covid-19 ini, yakni pada dua belah pihak PPK di Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso (MJS) serta Adi Wahyono (AW) dan juga dari pihak swasta Ardian IM (AIM) dan Harry Sidabuke (HS). KPK pun sebelumnya juga sudah menduga bahwasanya Batubara hingga saat ini sudah berhasil untuk menerima suap senilai Rp17 miliar dari jumlah komisi pengadaan bantuan sosial sembako untuk seluruh masyarakat yang terkena dampak COVID-19 di Jabodetabek.
Pada pelaksanaan paket bansos sembako yang diadakan pada periode pertama diduga terima “fee” Rp 12 miliar yang pembagiannya sebelumnya sudah bisa diberikan secara tunai oleh Santoso kepada Batubara lewat Wahyono dengan nilai sejumlah Rp 8,2 miliar. Pemberian uang tersebut pun selanjutnya akan dikelola Eko dan Shelvy N selaku sebagai salah seorang kepercayaan dari Juliari yang nantinya dapat digunakan untuk membayar berbagai macam keperluan pribadi Batubara.
Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako tersebut juga telah terkumpul uang komisi dari Oktober tahun 2020 sampai dengan pada bulan Desember tahun 2020 sejumlah hingga Rp8,8 miliar yang juga telah diduga nantinya akan dipergunakan untuk keperluan sang menteri tersebut. Untuk komisi yang sebelumnya sudah disepakati oleh Santoso dan Wahyono sebesar Rp10.000 per paket maka untuk bantuan sosial itu pun sembako dari nilai Rp300.000 per paket untuk bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak Covid-29 itu.
KPK menduga Mensos menerima suap dari bansos covid-19 senilai Rp17 miliar dari “fee” pengadaan bantuan sosial sembako untuk masyarakat terdampak COVID-19 di seluruh Jabodetabek. “Pada pelaksanaan paket bansos sembako tersebut telah ada sejak periode pertama diduga terima ‘fee’ Rp12 miliar yang pembagiannya pun sudah diberikan secara tunai oleh MJS (Matheus Joko Santoso) kepada tersangka JPB (Juliari Peter Batubara) lewat AW (Adi Wahyono) dengan nilai mencapai hingga Rp 8,2 miliar,” menurut Ketua KPK Firli Bahuri saat sedang melaksanakan jumpa pers di dalam Gedung KPK, Jakarta, Minggu (6/12/2020) dini hari.
Pemberian uang itu juga selanjutnya akan segera dikelola oleh Eko dan Shelvy N selaku orang kepercayaan dari Mensos Juliari untuk digunakan dalam membayar berbagai keperluan pribadi Juliari. “Untuk periode kedua pelaksanaan paket bansos sembako, terkumpul uang ‘fee’ sejak pada bulan Oktober 2020 yang lalu sampai dengan bulan Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang juga diduga akan dipakai untuk memenuhi keperluan JPB,” seru dari Firli. Alhasil pada seluruh total suap yang diduga juga sudah diterima Juliari yakni senilai Rp17 miliar.
Dalam sebuah konteks dimana adanya suatu dugaan korupsi Juliari, data yang digunakan oleh kemensos tersebut bukanlah data Program Keluarga Harapan (PKH) yang sebelumnya sudah terdaftar dalam Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Kemensos dan DTKS. Ia merupakan hasil dari kolaborasi antara Kemensos dan juga pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. “Tumpang tindih ini pun juga kejadian di banyak daerah lainnya di Indonesia.” Ia bahkan menduga bahwasanya dalam hal ini ada sebuah penyelewengan atas kasus suap bansos Covid-19 dapat menjadi lebih parah di tingkat daerah.
Berdasarkan dengan data yang diucapkan oleh Mensos Juliari sebelum jadi tahanan KPK, hingga 3 November 2020 yang lalu, realisasi bansos tersebut sembako Jabodetabek sudah mencapai hingga 82,59 persen. Oleh sebab itulah potensial ini juga akan jadi lahan korupsi, ia menilai semestinya data-data terkait “diintegrasikan.” Satu data ini sebenarnya sudah lama digembar-gemborkan oleh pihak pemerintah, menurut Misbah, namun di sisi lain “ya, belum ada bentuknya.”
Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) mulai dilakukan pada tahun 2005 yang lalu, dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Ini merupakan sensus kemiskinan pertama yang dilakukan di Indonesia. PSE kemudian beberapa kali berganti nama, hingga pada akhirnya kita pun dapat dengan mudah mengenalnya sebagai DTKS. Baik DTKS dan Pusdatin Kemensos adalah hasil dari adanya pendataan pemerintah yang telah selesai di tahun 2015. Data ini pun juga belum pernah diperbarui lagi hingga saat ini.