Kapankah Anda mulai sadar bahwa mengkonsumsi vitamin D penting untuk menjaga daya tahan tubuh? Sebagian mungkin baru tahu manfaatnya saat pandemi COVID-19 menyerang. Pembatasan aktivitas yang sedang berjalan di luar ruangan selama masa pandemi memang membuat asupan vitamin D jadi berkurang. Maka dari itu, himbauan berjemur gencar disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Pemandangan orang-orang berjemur di bawah sinar matahari pagi pun segera jadi kelaziman untuk membantu penyembuhan infeksi Covid-19.
Selain kita bisa berjemur, maka dengan asupan untuk vitamin D ke dalam tubuh juga bisa diperoleh dari suplemen. Mengonsumsi suplemen vitamin D pun hingga saat ini bisa jadi tren terbaru yang akan dijalankan selama pandemi sebab banyak kalangan yang menganggapnya lebih praktis daripada berjemur. Seturut riset Markets and Markets, nilai pasar global vitamin D pada tahun 2020 ini diperkirakan sebesar USD1,1 miliar dan diproyeksikan mencapai hingga USD1,6 miliar pada tahun 2025 mendatang.
“Compound Annual Growth Rate (CAGR) alias tingkat pertumbuhan rata-rata per tahun mencapai 7 persen. Fenomena ini didorong oleh kesadaran pentingnya asupan vitamin D, peningkatan kasus osteoporosis perempuan, dan malnutrisi anak-anak,” tulis Markets and Markets dalam laporannya yang kami kutip dari Tirto.id. Di negara Inggris, contohnya, penggunaan suplemen vitamin D pun juga telah meningkat hingga sebanyak 8 persen selama masa pandemi corona ini.
Pertumbuhan ini pun lambat laun akan menjadi yang paling cepat di pasar suplemen untuk bisa naik hingga 30 persen dari tahun 2019 yang lalu. Tren semacam ini juga sebelumnya sudah pernah terjadi di Indonesia. Beberapa selebritas dan juga para influencer mulai menyarankan untuk bisa konsumsi suplemen vitamin D untuk menjaga daya tahan tubuh selama masa pandemi seperti sekarang ini. Seharusnya konsumsi vitamin D di Indonesia pun tidak akan bisa minim sebab Indonesia merupakan negara dengan iklim tropis yang sangat berkecukupan soal sinar matahari yang menghasilkan Vitamin D.
Selain penting untuk membantu menjaga kesehatan gigi, tulang, dan otot, vitamin D diyakini dapat membantu untuk meningkatkan sistem imun untuk membantu penyembuhan infeksi Covid-19 dan mempunyai efek anti-inflamasi. Bahkan, potensinya untuk membantu meringankan adanya infeksi saluran pernafasan akut sebelumnya telah disadari dan diteliti sejak tahun 1930-an. “Kala itu, minyak hati ikan kod [yang mengandung vitamin D] diselidiki sebagai suplemen penangkal flu biasa,” tulis Adrian R. Martineau dan Nita G. Forouhi dalam ringkasan studinya yang terbit di jurnal The Lancet, berdasarkan yang telah kami lansir dari Tirto.id.
Walaupun seperti itu, seluruh masyarakat juga perlu untuk bisa hati-hati karena apabila dikonsumsi secara berlebihan, maka suplemen vitamin D juga memiliki efek samping. Konsumsi yang berlebihan juga bisa menjadi penyebab penumpukan kalsium, konstipasi, diare, kehilangan nafsu makan, mual, muntah, sampai gagal ginjal. Jadi, konsumsi vitamin D perlu juga untuk disesuaikan dengan usia dan juga dalam kondisi yang dimiliki oleh seseorang. Seturut juga dengan beberapa penelitian yang sebelumnya telah dirangkum WebMD, konsumsi vitamin D harian yang akan direkomendasikan untuk usia 1 hingga 70 tahun adalah 600 IU dan 800 IU untuk usia 71 tahun keatas.
Sementara pada bayi yang berusia 0-12 bulan asupan harian yang dianjurkan yakni 400 IU. Logikanya, seluruh masyarakat yang ada di negara tropis tentunya akan berkelimpahan sinar matahari yang mana mereka pun seharusnya tidak akan kekurangan vitamin D.Akan tetapi, di sisi lain ada beberapa penelitian yang justru nantinya akan menunjukkan bagaimana fakta sebaliknya sebab untuk kalangan penduduk wilayah tropis pun dapat mengalami kerentanan yang sama.
Pada bagian selatan Florida yang beriklim tropis, contohnya, sebanyak 40 persen orang tua tidak bisa untuk mendapat asupan vitamin D yang lebih optimal. Hubungan antara kurangnya paparan sinar matahari terhadap risiko defisiensi vitamin D pada tubuh seseorang ini juga nantinya akan terlihat dari penelitian Dian Caturini Sulistyoningrum, dosen Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, serta Keperawatan Universitas Gadjah Mada. Dian pun telah melakukan riset terhadap berbagai kelompok etnis di Kanada yang mempunyai iklim dingin. Kelompok etnis yang menjadi sampel risetnya di antaranya etnis Kaukasia, Asia Selatan, Asia Timur, serta Aborigin.
Hasilnya menunjukkan, bahwa orang Asia Selatan mempunyai tingkat vitamin D terendah jika dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain meskipun memiliki indeks massa (BMI) sama. Fakta ini juga sebelumnya sudah menunjukkan bahwa ada orang Asia Selatan dengan paparan sinar matahari secara langsung yang sama dengan orang Kaukasia di negara empat musim juga bisa mengalami kekurangan vitamin D pada tubuh mereka. Bukan hanya itu saja, Dian juga telah melakukan berbagai macam riset mengenai sebuah fenomena defisiensi vitamin D di negara tropis seperti di Indonesia.