Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ahmad M. Ramli telah memberikan pendapatnya di atas dalam sidang uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran di Mahkamah Konstitusi (MK), pada hari rabu Rabu (26/8/2020) yang lalu (menit ke-58). Secara garis besar Ramli menjelaskan beberapa dampak dari adanya sebuah permohonan tersebut apabila telah diterima oleh MK. Berbicara mewakili Presiden Joko Widodo. Yang mana pada gugatan Grup Hary Tanoe ini bisa menjadi sebuah alur yang salah untuknya.
Ia pun juga sempat menjelaskan bahwa adanya permohonan yang dikabulkan sebuah permintaan tersebut yang mana akan menimbulkan ketidakpastian hukum baik untuk pelaku industri penyiaran maupun masyarakat. Menurut pihak pemerintah, pada saat media sosial wajib menjadi sebuah lembaga penyiaran yang mempunyai izin, maka hal yang serupa juga perlu untuk diberlakukan kepada para penggunanya, termasuk juga para content creator perorangan, badan usaha, maupun pihak lainnya yakni badan hukum yang memanfaatkan layanan seperti Instagram TV, Facebook Live, Instagram Live, dan Youtube Live.
Tanpa adanya sebuah izin saat adanya gugatan Grup Hary Tanoe, maka “kegiatan yang akan dilakukan itu pun juga merupakan penyiaran ilegal dan juga perlu untuk ditertibkan oleh pihak aparat penegak hukum yang ada di Indonesia ” karena “penyiaran tanpa izin merupakan pelanggaran pidana.” Mengurus izin seperti itu sangat tidak mungkin untuk bisa terjadi, imbuhnya, karena tidak akan bisa untuk memenuhi persyaratan perizinan dalam penyiaran.
Selain dapat untuk merugikan pihak masyarakat luas, perubahan ini juga akan membuat resah beberapa lembaga negara, juga lembaga pendidikan serta juga pelaku industri kreatif yang menggunakan platform over the top (OTT) dalam menjalankan suatu kegiatannya. Semua bermula pada saat dua korporasi besar yang ada di industri pertelevisian Indonesia milik konglomerat Hary Tanoesoedibjo, PT Visi Citra Mulia (Inews TV) dan PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI).
Mengajukan sebuah permohonan terhadap uji materi terhadap UU 32/2002 ke MK dengan nomor perkara 39/PUU-XVIII/2020. Sidang pertama digelar pada 22 Juni lalu. Pasal yang diuji adalah pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran.”
Dalam sebuah dokumen yang bisa dilakukan untuk pemeriksaan pendahuluan, mereka juga mengaku bahwa mereka merasa kecewa karena banyaknya layanan penyiaran yang berbasis internet yang bermunculan akan tetapi tidak tercakup dalam pasal yang ingin segera diuji. Layanan yang menyediakan basis internet ini pun memang telah banyak melahirkan platform digital yang disebut-sebut juga dengan layanan OTT, contohnya yakni Netflix.
Kata Inews dan RCTI, seharusnya layanan OOT masuk ke dalam aturan penyiaran karena turut ikut serta dalam melaksanakan aktivitas penyiaran (penyampaian pesan dalam bentuk suara, gambar maupun bentuk suara dan gambar). Perbedaannya dengan berbagai macam aktivitas penyiaran konvensional terletak pada cara pemancarluasan/penyebarluasan dari penyiaran itu sendiri. Selain itu, kata mereka, fakta adanya diversifikasi penyiaran berbasis internet tidak diikuti dengan adanya kepastian hukum mengenai regulasi layanan OTT khususnya yang telah masuk ke dalam kategori konten/video on demand/streaming.
Seharusnya mampu untuk mendapatkan status dan juga kedudukan yang sama sebagai subyek hukum dalam UU Penyiaran,” ungkap mereka yang kami lansir dari Tirto.id. Dengan nada yang begitu sangat mengecewakan, mereka menambahkan “Namun dalam prakteknya sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran tidak dimaknai mencakup penyelenggaraan penyiaran berbasis internet, sehingga menyebabkan adanya disparitas/perbedaan terhadap ketentuan status dan kedudukan di antara penyelenggara penyiaran.
Apabila dalam sebuah aturan penyiaran diubah, berbagai macam bentuk media sosial di internet seperti pada sosial media Instagram atau Youtube, contohnya tidak akan ada lagi demokratis karena pada akhirnya tidak semua orang bisa untuk memproduksi konten. “Itu tentu bisa untuk membatasi kebebasan warga negara. Secara prinsip hal itu juga tidak demokratis, itu telah melanggar suatu kebebasan hak berpendapat dan ekspresi warga,” katanya yang kami lansir dari Tirto.id.