Presiden Republik Indonesia Joko Widodo geram dengan kinerja dari para menterinya saat ini. Dahi seorang mantan Gubernur DKI dan walikota Solo inipun mengernyit, nada bicaranya meninggi dan juga berkali-kali menghela nafas ketika ia mengetahui tidak ada kemajuan yang berarti dari para rekan menterinya di dalam menangani berbagai krisis akibat COVID-19 di tahun 2020 ini. Amarah itu pun mulai keluar saat Jokowi menyampaikan pidato pengantar dalam rapat kabinet 18 Juni lalu. Ancaman reshuffle kabinet pun keluar alhasil reshuffle bukan barang baru lagu untuk seorang Presiden RI yakni Joko Widodo. Pada periode pertama menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, tiga kali dia juga telah berhasil untuk merombak komposisi kabinet. Pada tanggal 12 Agustus 2015 ia merombak enam menteri yang belum juga menjabat setahun, lalu pada tanggal 27 Juli 2016 melantik 11 menteri baru, dan terakhir pada tanggal 17 Januari 2018. Alasannya macam-macam, mulai dari kinerja yang dinilai buruk sampai terjadi juga masalah koalisi partai.
Salah satu poin terakhir tampak pada saat ia mulai mengganti Asman Abnur sebagai kader Partai Amanat Nasional (PAN). Dari kursi Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tanggal 14 Agustus 2018 yang lalu. Ketika itu gejolak Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 sudah bergema. PAN, partainya Asman, memberikan sebuah dukungan kepada Prabowo Subianto, lawan pilpres Jokowi. Belum jelas apakah ancaman kali benar-benar telah dapat untuk segera diwujudkan atau hanya gertak sambal. Yang jelas, Apabila hal itu terjadi, maka kursi menteri yang lowong tersebut pun bisa saja diisi oleh orang lain, termasuk juga dari para kader dari partai oposisi PAN, PKS, dan Demokrat. Dengan menggandeng oposisi ke dalam bentuk barisan pendukung, pemerintahan Jokowi pun hingga saat ini, semakin mutlak dalam menguasai parlemen.Akan tetapi, PKS menanggapi dingin sebuah kemungkinan ini. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengungkapkan bahwa “kami mencintai negeri dengan menjadi oposisi”.
“PKS satu kata lisan dan perbuatan,” kata Mardani yang kami kutip dari Tirto.id. PKS memang dari awal sudah bisa untuk mendeklarasikan diri menjadi oposisi untuk masa pemerintahan Jokowi dan tidak akan tergoda untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan. Mardani beralasan apabila mereka masuk gerbong kekuasaan, yang mana nantinya akan dirugikan tidak lain yakni untuk masyarakat. Ia pun juga menjelaskan bahwasanya syarat untuk demokrasi yang baik adalah adanya oposisi yang setia memberikan kritik.
“Kami tetap oposisi karena demokrasi perlu check and balance,” katanya menegaskan kepada kami. PKS pun juga akan menguasai 50 kursi di Senayan. Sementara untuk partai Demokrat 54 dan PAN 44. Total kursi oposisi di dalam Parlemen menjadi 148, sementara partai pro pemerintah sebanyak kurang lebih hingga 427. Tanggapan PAN pun begitu sangat dingin. Ketua DPP PAN Saleh Daulay mengungkapkan walaupun sudah mendengar kabar untuk perombakan, ia bilang bahwasanya dalam hal ini partai belum juga sempat untuk bisa membahasnya sama sekali. “Karena wacana reshuffle tersebut merupakan wacana saja. Setiap periode, wacana seperti itu selalu muncul,” kata Saleh yang kami kutip dari Tirto.id.
Saleh pun juga sempat mengaku bahwasanya partainya tidak pada posisi mencampuri hak prerogatif Presiden. “Kepentingan PAN merupakan bagaimana supaya para masyarakat bisa diurus secara baik. Itulah tugas dari pihak pemerintah. Itulah yang wajib untuk dilakukan oleh para menteri yang ada saat ini,”menurutnya. Ia juga saat ini tengah mengklaim Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan tidak menyinggung sama sekali masalah ancaman reshuffle kabinet ketika sedang melangsungkan rapat internal. Dibanding dengan PKS, Zulhas sendiri telah menunjukkan isyarat lebih moderat dan terbuka mendekati pada sebuah kekuasaan. Sikapnya pun begitu sangat kontras pada suatu posisi sebagai salah satu pendiri partai, Amien Rais, yang ingin tetap jadi oposisi. “Ketum sedang konsentrasi mengurus beberapa kader yang mau bertarung dalam pilkada saat ini. Juga sedang bersiap-siap dalam melakukan konsolidasi di seluruh wilayah di Indonesia,” menurutnya yang dilansir dari Tirto.id.
Untung Rugi Masuk ke dalam Koalisi Pengajar ilmu politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin pun juga sempat memberikan penilaian bahwasanya sikap PKS untuk tetap menjadi oposisi yakni dengan menggunakan cara terbaik untuk mempertahankan suara dan menjaga keuntungan elektoral pada adegan pertarungan berikutnya. Oleh sebab itu pada keputusan untuk penolakan mereka masih kabinet wajar belaka. “Jika nantinya ternyata kinerja pemerintah semakin buruk, maka yang akan mendapatkan untung PKS. Suaranya pada Pemilu nanti dapat naik,” kata Ujang.
Sebaliknya, apabila sedang bergabung dalam koalisi parpol Jokowi, justru hal itu juga nantinya akan menjadi bumerang untuk partai yang akan dipimpin Sohibul Iman ini. “Karena paling juga dapat jatah satu menteri di dalam partai masing-masing. Sedangkan kondisi pemerintahan pun sedang terpuruk. Apabila tetap oposisi, PKS akan dapat ‘pantulan’, saat pemerintahnya bekerja tidak sesuai dengan ekspektasi,”ucapnya. Lain soal dengan PAN serta Partai Demokrat. Ujang ragu dua pada partai ini akan menolak ditawari kursi. Pasalnya kedua partai itu tidak pernah tegas mendeklarasikan diri sebagai partai oposisi.