Sejak permulaan abad ke-21, Republik Rakyat Cina semakin agresif dengan mendominasi perekonomian dunia. Cina pun hingga saat ini memiliki segala bentuk modal yang juga akan diperlukan, untuk mulai dari strategi dagang yang modern, kekayaan sumber daya, hingga juga pada luas wilayah, bahkan juga pada gelembung besar populasi untuk para penduduknya. Dalam jangka waktu 20 tahun yang akan datang kedepannya, negara Cina pun hingga saat ini bisa diprediksi menjadi negara adidaya dan mereka yakin bahwasanya Agresivitas negara China berhasil mengalahkan dominasi Amerika Serikat.
Kurang lebihnya seperti itulah tesis sejarawan Norwegia Odd Arne Westad dalam sebuah bukunya Restless Empire: China and the World Since 1750 (2012, hlm. 13). Yang kami lansir dari Westad, ambisi dari negara Cina yang mana saat ini ia pun juga akan meningkatkan kemampuan energi untuk dapat membantu dalam mensejahterakan rakyat dan juga nantinya akan meningkatkan usia harapan hidup menjadi delapan puluh tahun juga yang perlu untuk dianggap penting.
Bukan hanya itu saja, China pun juga saat ini tengah mengembangkan sebuah teknologi jaringan 5G juga untuk membantu dalam mendukung proses modernisasi dan urbanisasi di negaranya bahkan untuk kalangan seluruh dunia. Semuanya itu juga sebelumnya telah mempengaruhi tumbuhnya kultur konsumerisme dari kalangan masyarakat Cina. Perdagangan teh di Cina contohnya , yang sampai saat ini sudah mencapai hingga 260 juta poundsterling pada 1840. Konsumsi teh yang juga begitu sangat tinggi ini juga sebelumnya telah dipenuhi oleh adanya mekanisme subsisten.
Kenneth Pomeranz yang terdapat pada The great Divergence: China, Europe, and the Making of Modern World Economy (2000, hlm. 104) menjelaskan, bahwasanya beberapa wilayah ini pun sebagai penghasil teh seperti Anhui telah mengalami surplus produksi sejak abad ke-19. Teh dari sana sudah lebih dari cukup untuk kebutuhan pasar dalam negeri dan sanggup untuk membantu memenuhi kebutuhan ekspor. Kultur konsumerisme dari kalangan masyarakat Cina bukan hanya distimulasi oleh perdagangan yang bergairah hingga saat ini.
Dari adanya dekade pada tahun 1970-an, pihak pemerintah Cina pun juga mendukung perdagangan dengan kebijakan devaluasi dari mata uang, pengembangan pada sistem pabrik, dan juga hal tersebut akan maksimalisasi ekspor. Dalam rencana jangka panjang yang sudah terstruktur ini pun juga sudah terbukti akan menampakkan hasil yang positif. Pendapatan negara China pun telah mencapai 184 ribu triliun rupiah per tahun. Pada akhir tahun 2020 ini target Cina pun menjadi sebuah pendapatan yang telah diproyeksikan mencapai dua kali lipat.
Agresivitas negara China ini pun juga telah membuat negara-negara lain, terutama negara tetangganya, gentar. Dengan kekuatan ekonomi yang besar seperti saat ini, membuat kondisi negara Cina tentu sangat bisa memaksakan kepentingannya terhadap kawasan. Negara-negara kawasan akan tidak berdaya lagi dalam melakukan negosiasi karena telah jauh “kalah angin”. Berkebalikan lagi halnya dengan dengan Cina, Amerika Serikat pun hingga saat ini disebut sebagai negara adidaya justru mulai terseok-seok menghadapi kompetisi ekonomi pada zaman modern.
James Fallows, kolumnis The Atlantic, pernah membahas tentang bagaimana bahaya jatuhnya “imperium” dari negara Amerika Serikat. Fallows pun juga sebelumnya telah menganalogikan negara Amerika sebagai Romawi yang kehabisan tenaga karena diserang habis-habisan oleh bangsa barbar. Ada dua indikator yang saat ini telah dicatat Fallows. Pertama, saat sudah menjelang kehancurannya, Romawi pun juga tengah sibuk dengan silang-sengkarut masalah dalam negeri ini, yang sudah mulai rumit pada permasalahan perbudakan, wilayah yang terlalu luas, sampai pada kepemimpinan yang lalim. Untuk Fallows, hal itu juga sedang terjadi di Amerika Serikat untuk saat ini.
Seperti halnya bangsa Romawi, menurut Fallows, pada masa pemerintahan di Amerika tidak sanggup untuk menyelesaikan permasalahan dalam negerinya. Gonjang-ganjing politik nasional itu pun hingga saat ini semakin melemahkan Amerika Serikat dari dalam. Kedua, sesudah imperium Romawi jatuh, peradaban dari bangsa Eropa pun akan mulai memasuki zaman baru yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Pada masa era yang juga dikenal sebagai Dark Age, ada agama yang juga nantinya akan mendominasi kehidupan masyarakat dan ada juga wabah penyakit yang mematikan untuk seseorang.
Perlu juga ratusan tahun sebelum akhirnya nanti pihak masyarakat Eropa akan memasuki Renaissance—era pembaharuan. Pada zaman ini, kemungkinan yang nantinya akan terjadi yakni pada peperangan fisik memang kecil. Peperangan modern beralih ke bidang ekonom dan moneter. Cina jelas unggul dengan “senjata” industri yang masif, dengan adanya dukungan suplai pada bahan-bahan mentah yang hampir juga tidak terbatas, dan tenaga kerja murah yang mana jumlahnya semakin banyak hingga saat ini.
Dalam bidang perdagangan internasional, ekspor Amerika Serikat pun juga relatif melemah jika dibandingkan dengan negara-negara pesaingnya. Laman Investopedia menyebut, mulai banyak perusahaan yang ada di Amerika yang semakin bergantung pada Cina. Tanpa permintaan dari pasar Cina, perusahaan-perusahaan Amerika itu juga nantinya akan terjerumus pada pemotongan ongkos operasional atau bahkan terpaksa merumahkan para pekerjanya. Hal inilah yang nantinya akan menghasilkan peningkatan jumlah pengangguran yang ada di Amerika Serikat.